Wayangan

Jadi ceritanya semalam saya nonton wayang.

wayangan

Nah, sayah berharap itu wayangan acaranya versi abridged, sekitar 2-4 jam saja. Namun rupanya itu versi full, dari mulai pembukaan pukul 20.00 selesai esok paginya pukul 04.00. Yo wislah, sayah tonton sekuatnya saja. Toh lakonnya “Dasamuka Kalajaya” ndak terlalu asing, sudah baca 3 novel yang ceritanya dari Ramayana.

Kerana sayah bukan penutur bahasa Jawa saya kesulitan jugak mengikuti ceritanya. Adegan awalnya dimulai dari dialogĀ Prabu Sumali dan Jambumangli. Situ mungkin sudah tahu cerita lanjutannya, ndak apa-apa sayah jugak ndak cerita lagi kok. Lakon wayangnya bukan hal luar biasa yang sayah mau cerita di sini. Baju kebaya sindennya yang transparan jugak ndak sayah ceritain. (Lha kok ini sayah malah nyeritain sigh?)

Yang RUAR BIASSA adalah saya ketemu dengan Maulana. Siapa Maulana? Sumonggo dilihat fotonya:

Maulana (mengenakan rompi & duduk di motor) bersama fans-nya.

Maulana (mengenakan rompi & duduk di motor) bersama fans-nya.

Jangan protes kalo fotonya partisan, dia dan fansnya memang partisan (bukan sayah yang partisan). Maulana, seorang yang menyebut dirinya “Da’i Patroli,” semacamĀ moral police di lingkungan Bulaksumur dan sekarang aktif dakwah di lereng Merapi. Kiprahnya dijagad persilatan bisa dilihat dalam video di youtube, ada banyak, ndak cumak satu. Kalau situ mau jadi fans di mukabuku jugak bisa lho, boleh di-like.

Nah, bagaimana saya bertemu dengan Maulana?

“Assalamualaykum! Kenalan, siapa namanya? Ini mas & mbaknya hubungannya apa yah?”

Ndak kok sayah ndak diwawancara kayak gituh, kerna sayah ndak lagi berduaan, lha wong di tempat umum dan bareng temen-temen.

Kira-kira lewat tengah malem sayah dan kawan-kawan didatangi dua orang pria. Yang satu kurus dengan jenggot di dagunya (sudah lihat fotonya toh), satu lagi sedikit gemuk dan mengenakan topi dengan bordiran ar-raya dengan style Al-qaidah. Sayah heran, kok makhluk semacam ini bersedia datang ke acara wayangan. Kerna waktu itu sayah belum pernah berpengalaman ketemu dengan Maulana secara langsung sayah cumak bisa setengah bengong. Makin bengong lagi setelahnya, dikassi pertannyaan sok akrab tapi entah dari mana.

“Masnya dalang jugak ya?

“Masnya asalnya dari mana? Ngerti dalangnya ngomong apa?”

“Itu ceritanya bapaknya diminta ngelaman buat anaknya, tapi yang dilamar jatuh cinta sama Bapaknya.”

Butuh sekitar lima menit untuk sadar saya sedang berbicara dengan siapa. Yah, dengan kemampuan bahasa Jawa seadanya sayah berusaha memahami adegan yang disajikan oleh dalangnya daripada memperhatikan beliau. Apalagi bagian Wisrawa mengajarkan Sastrajendra kepada Sukesi, saya sempat bertanya-tanya apa adegannya harusnya disensor jugak ya?

Pada akhirnya Maulana & partner segera pulang setelah 15 menitan menemani kami. Setelah beliau pulang saya tanya ke teman saya, “Sudah ke TPS belum?” Pastin Maulana mendatangi kami karena kami belum ke TPS (Tempat Pelaksanaan Shalat). Tampaknya itu adalah materi dakwah terkini beliau, karena itu yang saya baca dari motornya ketika siang hari ia mengunjungi Gelanggang yang sedang dikunjungi capres-capres bawaan “Mata Najwa.”

maulana

=============================

Judul entrinya “Wayangan” kok nggak ngomongin wayang malah ngomongin Da’i Patroli? Wah, sebetulnya ada satu materi lagi tentang wayangan yang saya ingin bagi ke rekan-rekan.

Konon katanya, di akhir masa pemerintahan Wibisana di Alengkadiraja ada poster-poster bernada subversif yang disebarkan. Adapun poster tersebut kini kami peroleh dan saya hendak berbagi dengan anda. Berikut adalah posternya.

rahwana

One thought on “Wayangan

Leave a comment