Afrika telah lama dikenal dengan sebutan the dark continent. Ada yang menterjemahkannya secara harfiah “benua hitam”, seolah-olah hanya terkait dengan kulit penduduknya yang gelap, namun sesungguhnya istilah dark continent sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang dan nuansa makna yang tidak seragam.
Afrika sebagai dark continent adalah suatu pandangan Eurosentris. Ia berasal dari ketidaktahuan bangsa Eropa sebelum masa penjelajahan pasca abad pertengahan (age of sail). Wilayah di sebelah selatan sahara hanyalah ditandai oleh gambar monster-monster atau tulisan seperti “Here Be Dragons” di peta-peta. Ketidaktahuan akan wilayah sub-sahara ini memunculkan istilah dark continent.
Di era modern istilah ini memiliki arti yang bergeser. Berbagai wilayah Afrika, manusia, dan berbagai isi buminya telah berhasil dipetakan oleh para perintis dan avonturir Eropa. Buminya pun telah dibagi-bagi oleh berbagai kekuasaan negara-negara Eropa. Namun ada satu hal yang belum diketahui tentang Afrika: sejarahnya.
Di Afrika hanya Mesir yang meninggalkan peninggalan sejarah berupa artifak dan tulisan yang signifikan, negeri-negeri lainnya tidaklah meninggalkan cukup banyak peninggalan sejarah atau jejak kegiatan manusia berbudaya tinggi. Ini menyebabkan sulitnya penyelidikan sejarah tentang Afrika sehingga tidak banyak yang diketahui tentang Afrika di masa lalu.
Oleh karena itu oleh beberapa kalangan sebutan the dark continent digunakan sebagai dasar untuk menyebut bahwa Afrika tidak memiliki sejarah. The Dark Continent berarti benua yang sejarahnya tidak diketahui. Masyarakat Afrika dianggap tidak memiliki perubahan atau pencapaian apapun sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke benua tersebut. Ini menyebabkan munculnya tulisan-tulisan tentang sejarah Afrika diisi dengan cerita-cerita tentang eksplorasi dan penaklukan Afrika oleh bangsa Eropa. Ini bukanlah sejarah Afrika namun sejarah orang Eropa di Afrika.
Anggapan bahwa orang Afrika tidak memiliki sejarah dan tidak mengalami perubahan sebelum kedatangan bangsa Eropa menjadi salah satu dasar bagi prasangka rasialis yang muncul di Afrika Selatan dan Rhodesia (sekarang Zimbabwe). Adanya prasangka ini kadang malah menghambat usaha-usaha penyelidikan sejarah tentang budaya Afrika dan peninggalannya di masa lalu . Usaha-usaha ini dihalang—halangi oleh pemerintahan rasialis masa dua negara tersebut karena dianggap bertentangan dengan apa yang dipercayai oleh rezim rasialis negara tersebut.
Mitos bahwa Afrika tidak mengalami perubahan apa-apa sementara masyarakat dunia sudah memulai peradaban berakar amat kuat hingga paruh pertama abad 20. Bahkan anak-anak afrika sendiri pada masa itu sudah terlanjur dididik di sekolah dengan anggapan bahwa Afrika tidaklah memiliki masa lalu atau sejarah.
Tentu saja meski dengan sumber sejarah yang terbatas kita bisa tahu tentang sejarah Afrika. Berbagai temuan arkeologis terbaru menunjukkan adanya budaya Afrika yang telah menunjukkan kerumitan organisasi sosial dan berbagai bentuk pencapaian kebudayaan lainnya. Dengan berbekal hal ini maka penulisan sejarah Afrika dengan sudut pandang yang memberikan perhatian kepada orang Afrika sendiri dan memberikan historical agency kepada mereka tidaklah mustahil.
Dengan munculnya penulisan sejarah Afrika dengan sudut pandang yang afrocentric maka kita akan perlahan-lahan dapat meninggalkan istilah dark continent untuk menerangkan atau menyebut Afrika. Afrika adalah wilayah unik yang memiliki sejarahnya sendiri yang dapat dikenal dan dipelajari, bukan sesuatu yang gelap dan tidak terjangkau sejarahnya.
__________________
Bahan Bacaan:
Emmet Jefferson Murphy, History of African Civilization (Crowell : New York, 1972)