Indonesianist dan Penulisan Sejarah Indonesia

Tulisan ini memang terilhami oleh liputan khusus Tempo tahun 2011 mengenai Indonesianist asal Amerika. Ketika ketiban tugas menulis tentang Indonesia dan Amerika sayapun kepikiran mengambil topik ini. Silahkan rekan-rekan membacanya. Mohon maaf bila kepanjangan dan tanpa gambar. Mohgon maaf juga bila saya tidak membaca beberapa karya Indonesianis-indonesianis yang saya bahas, tetapi mengambil review dan wacana yang membahasnya.

capture

Lanjut>>>A. Perkembangan Penelitian Amerika di Indonesia

Untuk menarik asal mula studi tentang Indonesia (dan secara umum Asia Tenggara), kita tidak lepas dari proses yang terjadi pada masa kolonial. Emmerson melihat bahwa studi mengenai Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan adalah hal yang relatif baru. Sebelumnya studi mengenai wilayah ini lebih banyak dilakukan dalam batas-batas kolonial (Emmerson, 1984). Batas-batas kolonial ini kemudian hari menjadi batas nasional negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Robert Heine-Geldern, antropolog asal Austria merintis kajian mengenai wilayah ini di awal dasawarsa 1940. Ia diminta memberikan kuliah pengantar mengenai Asia Tenggara di berbagai universitas Amerika. Dalam perkuliahanini Geldern menerangkan bahwa Asia Tenggara terdiri dari Hindia Jauh (Burma, Siam, Indochina Perancis, Malaya), Kepulauan Malaya (Hindia Belanda, British Borneo) dan kepulauan Filipina. Laporannya yang diterbitkan 1943 menjadi bahan rintisan utama dalam studi Asia Tenggara dari Amerika (Fifield, 1976).

Namun yang mempopulerkan nama Asia Tenggara dalam ingatan Amerika Serikat justru adalah perang dengan Jepang. Dibentuknya Komando Asia Tenggara (South East Asia Command) yang dipimpin laksamana Inggris, Lord Mountbatten pada 1943 meningkatkan perhatian mengenai wilayah ini secara eksplosif bagi Amerika. Ini menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai objek studi yang dihargai dalam kesadaran Amerika Serikat. (Emmerson, 1984)

Segera setelah perang dengan Jepang usai, Amerika menghadapi tantangan baru. Indonesia adalah salah satu negeri pertama yang menyatakan diri melepaskan ikatannya dengan penjajah kolonial. Seorang sarjana Amerika yang menjadi jurnalis menuliskan pengalamannya menjadi disertasi berjudul Nationalism and Indonesian Revolution. Tak heran penulisnya, George Mcturman Kahin, kemudian menjadi pendorong utama dibukanya Cornell Modern Indonesian Project pada 1954.

Seorang lulusan Cornell lain memiliki kisah yang berbeda. Datang ke Indonesia sebagai pengungsi Yahudi, Heinz J Benda akhirnya menjadi interniran Jepang. Setelah peramh aspirasi studinya membawanya menuliskan kebijakan Jepang terhadap Islam di Indonesia dengan judul The Crescent and the Rising Sun. Benda kemudian menjadi pendorong studi Indonesia di Yale.

Pusat studi mengenai Indonesia yang dibuka pada dasawarsa 1950 ini didukung oleh pemerintah Amerika Serikat. Pendekatan studi yang dilakukan adalah pendekatan multidisiplin, meski pemimpin pusat studi ini berlatar Ilmu Politik. Pada 1950 dan 1960 kebutuhan pemerintah Amerika Serikat untuk memahami Indonesia dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negerinya menjadikan program-program ini menjadi primadona. Namun perang Vietnam menyebabkan penurunan perhatian terhadap Indonesia. (Bootsma, 1995)

Hal lain dicatat Tempo, Amerika Serikat mencurahkan perhatian kepada Indonesia karena kuatnya PKI. (“Sayur Asam di Ithaca,” Tempo, 2011: 58-59) Tentu saja dengan perkembangan di Vietnam dan kemunculan rezim Orde Baru yang bersahabat menjadikan perhatian serupa tidak diperlukan. Meski begitu dalam catatan Tempo pada dasawarsa 1980 masih amat banyak peneliti Amerika yang mendapat dana untuk melakukan penelitian lapangan di Indonesia. Surutnya perhatian peneliti terjadi pada dasawarsa 1990 dan setelah terjadinya serangan 11 September yang mengalihkan perhatian ke Timur Tengah. (“Sayur Asam di Ithaca,” Tempo, 2011: 58-59)

B. Peneliti-Peneliti Amerika di Indonesia

 

  1. Harry Jingrich Benda

Di awal perang Eropa, Batavia kedatangan pengungsi seorang pemuda Yahudi asal Cekoslovakia bernama Heinz. Pemuda ini cerdas dan segera beradaptasi dengan lingkungan barunya, ia banyak berteman dengan intelektual Batavia saat itu. Empat tahun kemudian kedatangan Jepang menjadikannya sebagai interniran, ia menggunakan waktunya untuk berdiskusi dengan professor Wertheim yang mendorongnya untuk mencurahkan pikirannya sebagai akademisi. (Sartono, 1972)

Setelah perang ia mendapat kesempatan studi di Selandia Baru, dan kemudian mendapat beasiswa di Cornell, Amerika Serikat. Di Cornell, disertasinya yang berjudul Crescent and the Rising Sun menganugerahinya gelar doktor. Awalnya ia menjadi asisten pengajar di Rochester University, namun kemudian direkrut Yale yang dikemudian hari menjadi salah satu pusat studi tentang Indonesia di Amerika (Wertheim, 1972). Karya ini, bersama dengan artikel mengenai Snouck Hurgronje (Benda, 1958), menunjukkan kontras antara kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan Jepang terhadap Islam politik.

Pergaulannya dengan akademisi dan intelektual Hindia Belanda di masa mudanya pastilah membentuk pemikirannya mengenai sejarah. Ia menyaksikan penghujung diskursus mengenai penulisan sejarah Indonesia dikalangan akademisi Belanda. Pada dua dekade terakhir kekuasaan Belanda para sejarawan memperdebatkan bagaimana seharusnya menulis sejarah Hindia, apakah sekedar perluasan negara induk (Eurosentris atau Neerlandosentris) atau mewujudkan sejarah kawasan yang memiliki pola sendiri (Sue Nichterlein, 1974). Hal inilah yang kemudian hari mendorong Benda menulis:

“The conquest of the greater part of Southeast Asia by the West in the nineteenth century leads to the area’s political fragmentation into self-contained colonial domains, chained to distant metropolitan countries. Interaction thus virtually ceases — and with it, history seemingly ceases… The history of modern Southeast Asia then only too often becomes the history of European colonial regimes, from which Southeast Asians — let alone a generic Southeast Asia — get progressively drained.”

Perhatiannya terhadap struktur internal dan proses dari dalam menjadikannya amat kritis terhadap peneliti Barat yang menurutnya “melihat dari kacamata Barat.” Ia memberikan kritik tajam ini salah satunya kepada karya Herbert Feith berjudul Decline of Constitutional Democracyin Indonesia, namun juga secara umum kepada para peneliti barat yang membayangkan bahwa Indonesia pasti akan mengikuti jalan demokrasi Barat. (Feith, 1965)

Sartono menyebutkan bahwa yang mempengaruhinya untuk menuliskan mengenai pemberontakan petani adalah ceramah Benda mengenai topik tersebut di Yale (Sartono, 1972). Dapat kita bayangkan bahwa kecenderungan penulisan sejarah Indonesiasentris di Indonesia mendapat dukungan dari akademisi luar berkat pemikiran Benda mengenai sejarah dari dalam.

  1. George McTurman Kahin

Lahir dalam keluarga elite Seattle, orang mungkin mengharapkan Kahin muda untuk menjadi politisi atau pengacara. Namun ia memilih jalan lain. Setelah menamatkan studi sarjananya di Harvard pada 1940 ia masuk ke Angkatan Darat Amerika Serikat dan menjadi pasukan terjun payung yang disiapkan untuk terjun melawan pasukan Jepang di Hindia Belanda. Meski akhirnya ia diterjunkan ke Eropa, minatnya terhadap Indonesia tetap ada. Setelah menamatkan Master-nya dari Stanford pada 1946 ia berangkat studi pascasarjana sekaligus menjadi wartawan di Indonesia pada 1948-1949. Hasil studinya ini menjadi disertasi yang menganugrahinya PhD pada 1951. (Berger, 2003)

Kahin banyak menulis tentang Indonesia sejak sebelum ia berangkat melakukan studi lapangannya. Pada 1947 ia menulis untuk Far Eastern Survey mengenai konstitusi dan realitas pemerintahan Indonesia pada saat perang kemerdekaan (Kahin, 1947). Sekembalinya dari Indonesia ia mengkonsolidasikan studi-studi Asia Tenggara dan banyak mengedit tulisan-tulisan mengenai area studi ini. (Berger, 2003)

Karya awal Kahin menunjukkan optimisme bahwa Indonesia akan mengikuti jejak negara-negara Barat dalam mempraktekkan demokrasi konstitusional karena tokoh-tokoh pemimpin politik Indonesia saat itu adalah hasil didikan Barat (Berger, 2003). Kecenderungan inilah yang kemudian diperingatkan oleh Benda untuk tidak memproyeksikan bias Barat pada Indonesia (lihat bahasan tentang Benda di atas).

Kahin dikenal sebagai pendorong utama studi Asia Tenggara di Cornell University, bahkan ia mendirikan Cornell Modern Indonesian Projectbersama John Echols dengan bantuan dana dari Ford Foundation pada 1954. Dalam mempersiapkan program ini Kahin menemui banyak kesulitan, terutama kesulitan memperoleh paspor karena dicurigai sebagai simpatisan komunis. Namun begitu, pada November 1954 Kahin berhasil ke Indonesia dan berkonsultasi dengan akademisi dan pejabat Indonesia untuk merancang riset-riset mengenai Indonesia yang akan diasuh oleh Cornell. Dari sinilah berbagai riset mengenai Indonesia dan juga penterjemahan monograf berbahasa Indonesia dan Belanda (bahkan Jawa!) ke bahasa Inggris untuk khalayak lebih luas dilakukan. Pada akhirnya ketika dana dari Ford Foundation habis, jurnal Indonesia tetap bisa terus terbit dengan dana dari pelanggannya. (Kahin, 1989)

Hingga kini Kahin dikenal sebagai pembuka perhatian d   unia Anglo-Amerika mengenai Indonesia melalui karyanya Nationalism and Indonesian Revolution. Simpati tanpa tedeng aling-aling Kahin kepada revolusi Indonesia justru menjadi daya tarik karyanya (Bootsma, 1995) bahkan mungkin bila dibandingkan dengan karya klasik mengenai revolusi Filipina, Kahin bernasib berkebalikan dengan Agoncillo yang dikecam karena simpatinya terhadap revolusi nasional Filipina (Curaming, 2012).

  1. Clifford Geertz

Clifford Geerts menemukan bakatnya secara tidak sengaja. Dalam tes di Angkatan Laut ia menemukan dirinya mendapat nilai tertinggi, gurunya pun menyarankan agar ia melanjutkan kuliah di Antioch. Ia sama sekali tidak tertarik pada diskusi politik pasca PD yang menjadi trend zaman itu. Meninggalkan studi sastra Inggris, ia memilih jurusan Filsafat yang memukaunya dalam fenomologi. (Apter, 2007) Geertz menerima PhD-nya dari departemen Social Relations di Harvard University pada tahun 1956. Ia menerima posisi di Berkeley pada 1958, namun segera diambil oleh Chicago untuk menjadi pemuka departemen Antropologi.

Karya-karya Geertz memiliki beberapa karakteristik yang bisa dirasakan yaitu 1) seluruhnya berdasarkan pada studi lapangannya di Bali, Jawa, dan Maroko, 2) Bersifat interpretatif dan menjauh dari teori yang menggeneralisir, 3) Ia tidak jauh dari generalisasi redah dan menengah, memfokuskan pada perbandingan intitusi di dua masyarakat. (Hanya sebagian dari Shore, 1988)

Karya Geertz yang selalu diingat adalah mengenai keberagamaan masyarakat jawa, Religion of Java. Dalam karya ni muncul trikotomi kontroversial santri-abangan-priyayi. Koentjaraningrat menyatakan keberatannya terhadap trikotomi ini, dengan berdasar pada kenyataan bahwa priyayi adalah kategori sosial vertikal, tidak seperti santri-abangan. Namun demikian Cruikshank berpendapat bahwa Geertz cukup beralasan memasukkan priyayi sebagai kategori horizontal (Cruikshank, 1972). Keberatan lainnya adalah kesan bahwa Islam bukanlah sesuatu yang benar-benar masuk dijiwai oleh masyarakat Jawa. Riclefs amatlah keberatan dengan pernyataan Geertz “It is very hard, …for a Javanese to be a ‘real Moslem.’” (Ricklefs, 2014). Kecenderungan serupa dapat kita lihat ketika Geertz menceritakan kisah Sunan Kalijaga yang menurutnya secara simbolis orang Jawa tidak pernah melaksanakan Islam. (Geertz, 1968)

Meskipun kontroversial, namun karya ini mendorong penelitian dan penulisan sejarah dan masyarakat Jawa secara lebih lanjut. Ricklefs menemukan bahwa asumsi Geertz tentang pertarungan santri-abangan yang telah berlangsung sejak lama ternyata adalah hal yang cukup baru (Ricklefs, 2014). Ia juga menunjukkan bahwa kemunculan abangan sebagai kategori sosial baru muncul pada paruh kedua abad 19 (Ricklefs, 2006). Selain penolakan, karya Geertz juga digunakan sebagai bahan untuk penulisan sejarah. Catatan Geertz mengenai kepercayaan akan hantu-hantu dan tuyul menjadi salah satu bahan Peter Boomgard dalam tulisannya mengenai sejarah ekonomi dilihat dari kepercayaan akan harta haram (Peter Boomgard “Kekayaan-Kekayaan Haram: Perkembangan Ekonomi dan Perubahan Sikap Terhadap Uang dan Kekayaan Seperti Tercermin dalam Kepercayaan Jawa Populer,” dalam Lindblad, 2000)

Karya Geertz lainnya yang terkait sejarah Indonesia adalah mengenai kondisi ekonomi pertanian desa Jawa pada abad 19 yang berjudul Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Di sini Geertz membandingkan ekosistem tegalan dan sawah, bagaimana kedua jenis ekosistem ini berhubungan dengan demografi jawa dan kemunculan tanaman-tanaman perkebunan (Smail, 1965). Amat menarik melihat bagaimana ekosistem sawah dapat memenuhi kebutuhan demografi yang terus semakin berat, namun dengan standar hidup yang terus turun (proses involusi).

  1. Benedict Anderson

Benedict Anderson adalah penerobos batas. Hal ini dapat kita lihat dari kisah hidupnya yang berpindah-pindah dari satu budaya ke budaya lain. Ayahnya adalah seorang Irlandia sinophile, ia mendapatkan pekerjaan sebagai petugas cukai di Tiongkok. Benedict Anderson pun dilahirkan di Kunming, kemudian melewati masa remaja di California dan Irlandia, sebelum menamatkan studi dan mendapatkan First Class Degree in Classics dari Cambrige (Aguilar dkk, 2011). Setelah dari Cambridge Ia beralih ke studi politik/kawasan di Cornell, Indonesia adalah pilihannya. Pada 1967 Ia menuntaskan disertasi berjudul Java in a Time of Revolution yang diterjemahkan menjadi Revolusi Pemuda mengenai kondisi revolusi fisik Surakarta 1945-1946. Di sini kita lihat bagaimana seorang Benedict Anderson menerobos batas-batas budaya, namun setelah Indonesia ia kemudian mendalami Thailand dan Filipina.

Anderson dikenal luas bukan melalui Revolusi Pemuda tetapi keterlibatannya dalam penulisan Cornell Paper. Tulisan berjudul A Preliminary Analysis of October 1, 1965, Coup in Indonesia menyangkal keterlibatan PKI sebagai dalang utama pembunuhan Jendral tersebut. Menurut Anderson dan McVey kudeta ini merupakan inisiatif perwira-perwira menengah Angkatan Darat yang tidak puas dengan keadaan di Angkatan Darat saat itu. Tulisan ini sebenarnya hanya beredar terbatas dikalangan akademisi Cornell, namun kemudian pejabat Indonesia yang mendengarnya berusaha melakukan koreksi atas kesimpulan paper tersebut. Namun kumpulan dokumen seberat 200 pon yang dikirim ke Cornell tidak memuaskan para peneliti sehingga Kahin memutuskan menerbitkan Cornell Paper ini sebagaimana adanya pada 1971 (Kahin, 1995).

Sebagai editor di jurnal Indonesia, Anderson banyak menterjemahkan literatur-literatur Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Yang ia terjemahkan amatlah luas mulai dari sastra jawa abad 19, Suluk Gatoloco (Anderson, 1981 dan 1982) sampai sastra modern Indonesia (satu diantara sekian yang ia terjemahkan: Eka Kurniawan dan Anderson, 2008). Ia juga menuliskan komentar-komentar terhadap kondisi politik Indonesia yang diterbitkan ke Tempo sebelum diterbitkan ulang di jurnal Indonesia. Tulisannya tentang petinggi G30S, Kolonel Abdul Latief menyengat dengan memakai plesetan lakon wayang terkenal Petrus Dadi Ratu (Anderson, 2000)

Daniel Dakhidae dan Taufik Abdullah menyebut bahwa karya Anderson paling dikenal bukalah buku Revolusi Pemuda. Buku yang paling dikenal di dunia adalah buku mengenai nasionalisme, Imagined Communities. (“Tak Luput dari Kritik,” Tempo, 2011) Buku yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang ini menyajikan asal-usul nasionalisme tidak dari pengalaman Eropa saja tetapi dari pengalaman Asia. Keahlian Anderson dalam Asia Tenggara tampak di sini, Anderson menampilkan Thailand, Filipina, dan Indonesia bersanding dengan pengalaman Barat maupun Amerika Latin. Kita dapat melihat pengalaman Indonesia menjiwai buku ini (Anderson, 2008).

 Anderson meninggal 13 Desember 2015 di Batu, Malang. Ia sedang dalam perjalanan mempromosikan buku terakhirnya Di Bawah Tiga Bendera. Akhirnya sang penerobos batas ini mengakhiri perjalanannya di Indonesia.

  1. Ruth McVey

Ruth McVey memperoleh sarjana Russia dari Bryn Mawr College tahun 1952, ia kemudian melanjutkan studi Soviet di Harvard. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya ke Asia Tenggara Cornell. Dengan disertasi berjudul Komintern and the Rise of Indonesian Communism. Seperti dapat dilihat di sini perhatian Ruth McVey banyak tercurahkan pada komunisme, karya-karyanya selanjutnya akan menunjukkan simpati kepada komunisme, tak heran ia bersama rekan-rekannya di Cornell dianggap simpatisan komunis oleh pemerintah Amerika.

Yang membedakan McVey dengan Kahin ataupun Anderson adalah sempitnya perhatian beliau. Bila Kahin menunjukkan perhatian kepada realitas politik Indonesia secara lebih luas dan Anderson menunjukkan ekletisitas bacaan tidak hanya mengenai politik tetapi juga sastra, McVey tidak banyak memberi perhatian di luar masalah komunisme Indonesia.

Salah satu penerbitan pertamanya di luar disertasinya, McVey dan Benda bekerjasama menerbitkan kumpulan dokumen terpilih mengenai pembrontakan komunis Indonesia tahun 1927. Tulisan-tulisannya banyak mengulas mengenai komunis seperti, Mengajarkan Modernitas (McVey, 2016). Seperti Anderson, Ia juga banyak menterjemahkan naskah-naskah berbahasa Indonesia ke bahasa Inggris seperti laporan Semaun, An Early Account of the Independence Movement (McVey & Semaun, 1966), memoir tokoh pendiri PETA, The Peta and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography (Gatot, Evans, dan McVey, 1968). Adapula tulisan refleksi diri Onghokham yang dieditnya

Yang paling dikenal dari McVey adalah Cornell Paper yang menimbulkan polemik luas dikalangan akademisi maupun politisi/diplomat Indonesia dan Amerika. Di New York Times mantan duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Francis Galbraith, menuliskan bantahannya yang kemudian dikomentari oleh Martin Ennals (Galbraith & Ennals, New York Times 9 Februari 1978). Kritik lain datang dari kalangan akademisi, Herbert Feith tidak sepakat dengan kesimpulan analisis Benedict Anderson dan McVey. Anderson, McVey, dan Feith adalah rekan peneliti yang dekat hubungannya, kritik dari Feith ditanggapi melalui surat personal yang menunjukkan kemarahan Anderson dan McVey. (Purdey “Being an Apologist?: Cornell Paper and Debate Between Friends” dalam Cribb, 2011).

Penutup

Peneliti Amerika Serikat berdatangan ke Indonesia bersamaan dengan melejitnya peran Amerika Serikat di dunia setelah Perang Dunia II. Studi Asia Tenggara dan Indonesia bermekaran memenuhi kebutuhan pemerintahnya akan informasi tentang wilayah ini. Yale dan Cornell menjadi pusat awal studi mengenai Indonesia. Sayangtnya, dengan kepergian Harry J Benda peran Yale berkurang dan Cornell menjadi satu-satunya menara untuk memandang Indonesia dari kejauhan.

Para peneliti ini menghasilkan karya penting yang memiliki impak amat dalam historiografi Indonesia modern. Diantara karya itu adalah The Crescent and Rising Sun karya Harry J Benda, Nationalism and Revolution in Indonesia karya George McTurnan Kahin, Religion in Java karya Clifford Geertz. Java in Times of Revolution karya Benedict Anderson, The Rise of Indonesian Communism karya Ruth McVey, dan Agricultural Involution memiliki impak signifikan tetapi tidak sedalam karya-karya diatas.

_____________________________

Pustaka

 

Buku

Anderson, Benedict. 2008. Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta. InSist Press.

Geertz, Cliffors. 1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Chicago. University of Chicago Press.

Lindblad, Thomas J. 2000. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta. LP3ES.

 

Jurnal/Periodikal

Aguilar, Filomeno., Hau, Caroline., Rafael, Vicente,. Tadem, Teresa. & Anderson, Benedict. 2011. “Benedict Anderson, Comparatively Speaking: On Area Studies, Theory, and ‘Gentlemanly’ Polemics.” Philippine Studies.Volume 59, Nomor 1 (Maret 2011) Halaman 107-139.

Anderson, Benedict. 1981. “Suluk Gatoloco : Part One.” Indonesia, Nomor 32 (Oktober, 1981), halaman 109-150.

Anderson, Benedict. 1981. “Suluk Gatoloco : Part Two.” Indonesia, Nomor 33 (April, 1982) halaman 31-88.

Anderson, Benedict. 2000. “Petrus Dadi Ratu.” Indonesia, Nomor 70 (Oktober, 2000) halaman 1-7.

Apter, David E. 2007. “On Clifford Geertz.” Daedalus, Volume 136, Nomor 3, (2007) halaman 111-113

Benda, Harry J.. 1958. “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia.” The Journal of Modern History,Volume 30, Nomor 4 (Desember, 1958), halaman 338-347.

Berger, Mark T. 2003. “Decolonisation, Modernisation and Nation-Building: Political Development Theory and the Appeal of Communism in Southeast Asia, 1945-1975.” Journal of Southeast Asian Studies,Volume 34, Nomor 3 (Oktober, 2003) Halaman 421-448

Bootsma, N. 1995. “The Discovery of Indonesia: Western (non-Dutch) Historiography on the Decolonization of Indonesia” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 151, Nomor 1, (1995) halaman 1-22.

Curaming, Rommel A. 2012 “The making of a ‘classic’ in South East Asian studies: Another look at Kahin, Agoncillo and the revolutions.” South East Asia Research,Volume 20, Nomor 4 (DECEMBER 2012) halaman 595-609.

Eka Kurniawan dan Anderson, Benedict. 2008. “Grafitti in the Toilet.” Indonesia, No. 86 (Oktober, 2008) halaman 55-61.

Emmerson, Donald K. 1984. “’Southeast Asia’: What’s in a Name?” Journal of Southeast Asian Studies, Volume 15, Nomor 1 (Maret, 1984) halaman 1-21.

Feith, Herbert. 1965. “History, Theory, and Indonesian Politics: A Reply to Harry J. Benda,” The Journal of Asian Studies,Volume 24, Nomor 2 (Februari, 1965) Halaman 305-312.

Fifield, Russell H. 1976. “Southeast Asian Studies: Origins, Development, Future” Journal of Southeast Asian Studies,Volume 7, Nomor 2 (September, 1976) halaman 151-161.

Kahin, George McTurnan. 1947. “Government in Indonesia.” Far Eastern Survey,Volume 16, Nomor 4 (26 Februari, 1947) Halaman 37-41.

Kahin, George McTurnan. 1989. “Cornell’s Modern Indonesia Project” Indonesia, Nomor 48 (Oktober, 1989) halaman 1-26.

McVey, Ruth dan Semaun. 1966. “An Early Account of the Independence Movement” Indonesia,Nomor 1 (April, 1966) halaman 46-75.

McVey, Ruth. 2016. Mengajarkan Modernitas. Jakarta. IndoProgress.

Nichterlein, Sue. 1974. ”Historicism and Historiography,” History and Theory, Volume 13, Nomor 3 (Oktober, 1974), halaman 253-272.

Onghokham dan McVey, Ruth. 2008. “Statement by Ong Hok Ham Djakarta, September 4, 1967.” Indonesia, Nomor 85 (April, 2008), halaman 125-136

Raden Gatot Mangkupradja, Evans, Harumi Wanasita, dan McVey, Ruth. 1968. “The Peta and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography.” Indonesia, No. 5 (April, 1968) halaman 105-134.

Ricklefs, Merle C. 2006. “The Birth of Abangan.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 162, Nomor 1 (2006) halaman 35-55.

Ricklefs, Merle C. 2014. “Rediscovering Islam in Javanese History.” Studia Islamika. Volume 21 Nomor 3, (2014) halaman 397-418.

Sartono Kartodirdjo. 1972. “In Memoriam: Harry J Benda.” Journal of Southeast Asian Studies, Volume 3, Nomor 1 (Maret, 1972), Halaman 171-174.

Smail, John R.W. 1965. “Review : Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia by Clifford Geertz” Journal of Southeast Asian History, Volume 6, Nomor 2 (September, 1965) Halaman 158-161.

Wertheim, Willem F. 1972. “Harry J Benda (1919-1972),” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Volume 128, Nomor 2/3. (1972) halaman 214-218.

 

Majalah

“Sayur Asam di Ithaca.” Tempo. 20 November 2011. Halaman 58-59.

“Tak Luput dari Kritik.” Tempo. 20 November 2011. Halaman 68-69.

 

Makalah Seminar

Purdey, Jemma. “Being an Apologist?: Cornell Paper and Debate Between Friends” dalam Cribb, Robert dkk. 2011. Transmission of Academic Values in Asian Studies: Workshop Proceedings. The Australian Netherlands Research Collaborations.

 

Sumber Internet

Galbraith, Francis J. dan Ennals, Martin. 1978. “What Happened in Indonesia? An Exchange.” New York Times 9 Februari 1978. http://www.nybooks.com/articles/1978/02/09/what-happened-in-indonesia-an-exchange diakses 28 Mei 2017.

Leave a comment