“Those who control the present, control the past and those who control the past control the future.” George Orwell, 1984.
Kalimat ini membawa pesan mimpi buruk novel 1984 ketika Inggris dikuasai rezim totalitarian yang mengontrol segalanya. Dalam rangka mempertahankan kekuasaannya rezim ini terus-menerus menulis ulang sejarah untuk menyesuaikan agenda kontemporer mereka. Rezim ini selalu berusaha menghapus kenangan akan kehidupan masa lalu untuk konstruksi yang mendukung legitimasi rezim ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Penguasa dan Sejarah Klasik Indonesia
Sejarah adalah salah satu lahan bermain milik penguasa. Pada masa silam karya-karya sastra dibuat untuk menghasilkan narasi yang meninggikan derajat penguasa. Pujasastra adalah istilah untuk karya sastra jenis ini, contohnya adalah Deçavanana yang kini dikenal dengan nama Negarakrtagama dituliskan sebagai pemujaan atas raja Hayam Wuruk yang termahsyur sebagai raja yang membawa masa keemasan Majapahit.
Sebagai puji-pujian Deçavanana bahkan memuji Krtanegara (raja terakhir Singasari) sebagai raja yang memiliki kekuatan besar dan dalam kewajibannya ia harus mabuk-mabukan untuk menjalankan ritual yang menjaga kerajaannya yang sedang dilanda kekacauan. Narasi lebih sederhana hadir dari Pararaton yang memberikan penjelasan lebih sederhana : Singasari jatuh karena rajanya yang pemabuk tidak mampu melaksanakan tugasnya (Vlekke, 2016: 58).

Karya sastra kuno yang tertulis di atas lontarak.
Kita melihat bagaimana suatu kejadian yang sama diberikan narasi dan penjelasan yang berkebalikan. Deçavanana yang ditulis sebagai pengagungan Majapahit (penerus Singasari) mencoba memberikan alasan atas Krtanegara yang pemabuk. Pararaton yang dituliskan kemudian oleh dinasti yang tidak berhubungan dengan Singasari dan Majapahit mengambil sikap yang berbeda.
Tentu saja di kemudian hari sebagian sejarawan barat mengambil sikap menolak menggunakan sumber tradisional Indonesia yang dianggap penuh imajinasi kekanakan. Namun kita akan melihat bagaimana penulisan sejarah Indonesia oleh Barat memiliki biasnya sendiri.
Zaman Kegelapan Islam
Kritik atas “sejarah dari geladak kapal” banyak dibahas dalam kajian pembentukan historiografi Indonesia. Untuk tulisan mari kita pusatkan pandangan kita pada aspek lainnya: pengaruh pandangan kolonial terhadap masa ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan-kerajaan Islam berkuasa di Indonesia.
Ketika para pejabat VOC mulai masuk ke pedalaman Jawa mereka menemui pelbagai reruntuhan peninggalan masa lalu. Dapat kita bayangkan rakyat jelata memberikan cerita bercapur dongeng ketika ditanya asal-usul reruntuhan tersebut, sementara para pembesar juga belum tentu menerima kehadiran mereka dengan ramah.
Akhirnya pada 1817 kondisi ini Raffles berhasil menyelesaikan dan menerbitkan karyanya: History of Java. Karya ini memulai pemahaman bangsa barat yang lebih dalam mengenai Jawa. Dalam karyanya ini Raffles menunjukkan kekagumannya akan masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Maka dimulailah mitos baru: masa Hindu-Buddha adalah zaman klasik Indonesia dan zaman Islam adalah masa kegelapan. Mitos ini jelas mengambil template sejarah Eropa dengan zaman Yunani-Romawi sebagai masa klasik dan keruntuhannya sebagai zaman kegelapan.
Narasi ini menjadi legitimasi kehadiran kolonialisme Eropa di Indonesia. Para pejabat kolonial memandang bahwa tugas mereka selain membawa peradaban (barat) kepada pribumi biadab, mereka juga datang untuk mengajarkan tentang peradaban agung Hindu-Buddha yang terlupakan. Para pribumi dipandang telah terjerumus dalam kebudayaan inferior dan hanya dapat memperbaiki nasib melalui sentuhan penguasa Eropa.

Reruntuhan candi membangkitkan keingintahuan bangsa barat, kemudian hari membangkitkan imajinasi nasionalis.
Maka berdatanganlah para peneliti Eropa dengan tujuan menguak masa lalu Indonesia. Keingintahuan ilmiah mungkin mendorong mereka secara pribadi, namun mereka menjadi alat penguasa kolonial untuk menemukan dan melaksanakan kebijakan mereka. Namun di kemudian hari hasil kerja cendekiawan Barat ini menjadi bahan dalam pandangan nasionalis mengenai sejarah Indonesia.
Kaum Nasionalis dan Mimpi Masa Lalu
Hasil kerja para arkeolog Belanda di Indonesia amatlah menarik bagi kalangan nasionalis Indonesia pada awal abad 20. Meski di satu sisi hasil kerja arkeolog ini telah menjadi bahan narasi yang memberi legitimasi kolonial, kaum nasionalis juga dapat menggunakannya untuk narasinya.
Benedict Anderson melihat bahwa pelbagai studi Arkeologi di Asia Tenggara pada awal abad 20 telah memberi bahan narasi nasionalis dan mendorong pembentukan identitas negara-negara pascakolonial berbagai negara Asia Tenggara (Bloembergen & Eickhoff, 2011). Untuk Indonesia kita dapat melihat bagaimana Muhammad Yamin, seorang aktivis dari Sumatra, tergila-gila dengan Majapahit. Yamin menggunakan berbagai hasil kerja arkeolog untuk membuat karyanya mengenai tatanegara Majapahit, Sapta Parwa.
Studi Arkeologi yang merupakan warisan kolonial memberi kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk menaikkan prestisenya. Pembukaan candi Prambanan yang baru saja dipugar pada tahun 1953 menjadi ajang bagi Soekarno untuk menampilkan Indonesia sebagai negara yang memiliki sejarah yang panjang kepada dunia. Untuk rakyat Indonesia pesannya jelas: Soekarno adalah kelanjutan dari para penguasa masa lalu Indonesia.
Narasi Kekerasan dan Orde Baru
Kemerdekaan Indonesia memberi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun tentu saja terjadi perdebatan tentang masa depan Indonesia. Dalam perdebatan ini sejarah sekali lagi digunakan sebagai alat legitimasi untuk mengambil kekuasaan.
Angkatan Bersenjata sebagai salah satu pihak yang berperan dalam revolusi fisik menampilkan diri sebagai satu-satunya lembaga yang menunjukkan eksistensi Indonesia. Hal ini terkadang melupakan peran berbagai milisi bersenjata lainnya dalam revolusi fisik.
Di sisi lain PKI tidak ketinggalan dalam usaha menunjukkan dirinya. Mereka menampilkan diri sebagai pihak yang konsisten melawan penjajah sejak 1924. Peristiwa Madiun 1948 kini diingat sebagai pemberontakan PKI pertama terhadap pemerintah Indonesia, namun PKI mampu menunjukkan diri bahwa peristiwa yang terjadi saat itu bukanlah inisiatif PKI.
Kegagalan Gerakan 30 September membawa serentetan peristiwa yang mengantarkan kemunculan Orde Baru. Meski Orde Baru muncul dari kerjasama antara tentara (Angkatan Darat) dan berbagai unsur sipil yang menginginkan pemerintahan baru, namun tentara segera mengambil alih hegemoni.
TNI segera membentuk Pusat Sejarah yang bertugas untuk menyelidiki peran TNI dalam berbagai episode sejarah Indonesia. Maka muncullah TNI sebagai satu-satunya entitas yang menonjol dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa Revolusi Fisik (McGregor, 2008).
PKI yang menjadi musuh bersama Orde Baru mengalami demonifikasi signifikan. Gerwani digambarkan sebagai organisasi wanita tidak bermoral, monumen Kesaktian Pancasilamenampilkan para anggota Gerwani menari-nari dengan pakaian (pada masa itu) terbuka. Konflik anggota PKI dengan pemilik lahan ditonjolkan sebagai bukti kebiadaban PKI. Soeharto sebagai Jendral yang memimpin penertiban dan pembubaran PKI tampil menjadi pahlawan dalam narasi ini.
Selain menunjukkan supremasinya atas sejarah, Orde Baru juga menutup pembahasan peristiwa kontemporer yang mencoreng namanya. Tidak heran peristiwa-peristiwa seperti Malari, Tanjung Priok, Santa Cruz, dan sebagainya tidak muncul di perbincangan arus utama. Peminggiran ini justru memunculkan pandangan-pandangan ekstrim yang sukar didamaikan.
Epilog
Reformasi membawa runtuhnya Orde Baru. Kini muncul keterbukaan informasi. Kini tiada lagi narasi tunggal, setiap pihak dapat mendorong narasinya masing-masing. Meski tampaknya pemerintah tidak lagi memiliki kontrol atas sejarah, kenyataannya pemerintah tetap memiliki caranya untuk mendapatkan kontrol. Buku pelajaran sejarah di sekolah tetap mendapat pengawasan pemerintah. Di sisi lain usaha untuk menuntaskan beban sejarah akibat tragedi 1965 gagal mencapai resolusinya.
_____________________
Bacaan:
Bloembergen, Marieke dan Eickhoff, Martijn. “Conserving the past, mobilizing the Indonesian future: Archaeological sites, regime change and heritage politics in Indonesia in the 1950s.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.Volume 167, No. 4 (2011), halaman 405-436.
McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Syarikat, 2008.
Sri Margana. Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Vlekke, Bernard H.M.. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.